Contohnya ada orang yang waktu di tanah air suka menghujat orang, tahu-tahu di tanah suci mulutnya mencong-mencong. Kisah nyata ada orang yang mendadak gila dan selalu menghitung batu dengan bilang bahwa itu uang, sebab dia di tanah air adalah seorang rentenir. Alkisah ada orang yang tidak bisa melihat ka'bah padahal dia sedang di area Mathaf (tempat thowaf). Cerita nyata tentang orang yang selalu tersandung setiap jalan dan bilang kok banyak batu padahal dia sedang di Masjidil Haram, dan sebagainya.
Kisah yang disebutkan diatas itu adalah kisah nyata dampak negatif. Ada juga kisah nyata yang berdampak positif, semisal bagaimana seseorang yang sangat ingin mencium hajar aswad, dia serasa ditolong entah siapa, sepertinya malaikat yang datang dan beralih rupa, memudahkan jalan baginya, sementara keadaan berdesak-desak (ini biasanya kisahnya para artis yang baru pertama kali ke tanah suci)
Diceritakan, ada seorang koruptor lagi naik haji. Selama berada di Makkah dia sangat menyesali segala perbuatan buruknya, dia niat bertaubat sungguh-sungguh dan ingin mengembalikan hak rakyat yang dia ambil.
Ketika di depan Ka'bah, dia meratap-ratap pilu, menangis, dan bersujud lama, segala rupa macam doa dia baca dan dia rapal.
Namun ketika bangun dari sujudnya, mendadak dunia berubah! Jadi gelap, pengap, dan bau! Bukan main takutnya sang koruptor tadi. Makin kencang lah tangisnya dan semakin takut dia. Berjuta-juta sesal keluar dari seluruh hatinya. Sujud makin panjang.
Dan setelah merasa lama dan hatinya lega dengan tangisan, dengan agak takut dia bangkit kembali. Pelan-pelan dibukanya matanya. Seketika dunia telah kembali seperti sedia kala. Terang benderang, Masjidil Haram dengan Ka'bah nan agung terlihat begitu indahnya, tak terperi kegembiraan pak koruptor tadi.
Padahal, tadi saat dunia berubah mendadak gelap, pengap dan bau, sebenarnya tanpa dia sadari, kala dia bangkit dari sujud pertama, dia masuk dalam rok ibu-ibu dari Afrika yang sedang lewat di depannya.
Alhasil, banyak kisah-kisah seperti itu yang kerap kita baca di tabloid-tabloid, dan mungkin saja terjadi. Sebab Mekkah sendiri sebenarnya adalah kota yang sangat tepat untuk merenungi segala kesalahan, menata kembali langkah untuk melanjutkan kehidupan.
Semoga saja kisah nyata pak koruptor tadi tak sekedar anekdot, tapi menjadi kisah sungguhan yang membuatnya taubat, meskipun cuma masuk roknya ibu-ibu Afrika.
Namun yang menjadi catatan, apakah bertaubat, berbuat baik, merenungi segala dosa itu saat hanya sedang berada di tempat yang suci saja? Memang momennya bagus, tetapi tidak seharusnya seperti itu.
Begitu juga masa' berbuat baik, merubah penampilan jadi lebih shalih hanya semisal pada bulan puasa saja? Atau hari-hari besar Islam? Ini sangat jamak kita temukan di dunia selebriti.
Lantas setelah itu, setelah keluar dari bulan puasa, atau sekembali dari Mekkah, kebiasaannya yang kurang baik, penampilannya yang mengumbar aurat, itu balik lagi. Sangat disayangkan sebab pertanda bahwa ibadah yang dilakukannya itu tidak berefek positif pada pelakunya.
Sebab ibadah yang diterima oleh Allah, bukan sekedar penggugur kewajiban, adalah ibadah yang memberikan dampak positif pada pelakunya. Andai semisal kita kok sehabis ibadah tingkat ketakwaan kita biasa-biasa saja, atau malah kelakuan kita semakin porak poranda, maka kita harus tahu bahwa ibadah kita tidak berefek apa-apa. Mesti menata niat.
Kadang aku pribadi sendiri heran. Kenapa seseorang yang melakukan perampasan terhadap hak rakyat, makan dengan rakus uang mereka, saat terkuak kasusnya buru-buru balik berbuat baik? Dan itu mesti dengan jauh-jauh ke tanah suci?
Seharusnya sebelum terbongkar, saat masih ditutupi Allah, dan saat dia sadar perbuatannya itu salah, segera bergegas membenahi kesalahannya dan mengembalikan sesuatu yang bukan haknya. Dan tidak harus ke tanah suci, tapi taubatlah di tempat.
Lalu apa faedahnya dia jauh-jauh ke Mekkah, menemui orang-orang sholih meminta doa agar permasalahannya di-clear-kan setelah perbuatan buruknya, atau persekongkolannya terbongkar dan ditelanjangi di depan rakyat?
Hanya itu pikiran sederhanaku saat bersalaman dengan salah satu ketua partai besar yang terlihat linglung sebab banyaknya kasus yang menimpa dia, padahal pak ketua ini terkenal dengan kecerdasan dan kecemerlangan karirnya saat masih mahasiswa. Apa entah karena "keluguannya" di dunia politik sehingga dimanfaatkan oleh teman-temannya, atau memang karena kerakusannya.
Satu pelajaran juga, bukti bahwa latar belakang seseorang yang sangat berkesan religius tidak selalu menjamin bahwa dia akan baik, selama tidak ada perlindungan Allah di sana.
Sebab apapun keadaan kita, perhitungan adalah tetap pada bagaimana akhir kita nanti. Bukan pada kita ini siapa, dari keluarga apa, belajarnya apa, kontribusinya apa. Tapi pada akhir yang baik, husnul khotimah, atau sebaliknya, naudzu billah.
Akhir catatan, masih banyak yang harus kita renungkan bersama daripada membayangkan Kisah Nyata Masuk Rok Orang Afrika.
Dan setelah merasa lama dan hatinya lega dengan tangisan, dengan agak takut dia bangkit kembali. Pelan-pelan dibukanya matanya. Seketika dunia telah kembali seperti sedia kala. Terang benderang, Masjidil Haram dengan Ka'bah nan agung terlihat begitu indahnya, tak terperi kegembiraan pak koruptor tadi.
Padahal, tadi saat dunia berubah mendadak gelap, pengap dan bau, sebenarnya tanpa dia sadari, kala dia bangkit dari sujud pertama, dia masuk dalam rok ibu-ibu dari Afrika yang sedang lewat di depannya.
Alhasil, banyak kisah-kisah seperti itu yang kerap kita baca di tabloid-tabloid, dan mungkin saja terjadi. Sebab Mekkah sendiri sebenarnya adalah kota yang sangat tepat untuk merenungi segala kesalahan, menata kembali langkah untuk melanjutkan kehidupan.
Semoga saja kisah nyata pak koruptor tadi tak sekedar anekdot, tapi menjadi kisah sungguhan yang membuatnya taubat, meskipun cuma masuk roknya ibu-ibu Afrika.
Namun yang menjadi catatan, apakah bertaubat, berbuat baik, merenungi segala dosa itu saat hanya sedang berada di tempat yang suci saja? Memang momennya bagus, tetapi tidak seharusnya seperti itu.
Begitu juga masa' berbuat baik, merubah penampilan jadi lebih shalih hanya semisal pada bulan puasa saja? Atau hari-hari besar Islam? Ini sangat jamak kita temukan di dunia selebriti.
Lantas setelah itu, setelah keluar dari bulan puasa, atau sekembali dari Mekkah, kebiasaannya yang kurang baik, penampilannya yang mengumbar aurat, itu balik lagi. Sangat disayangkan sebab pertanda bahwa ibadah yang dilakukannya itu tidak berefek positif pada pelakunya.
Sebab ibadah yang diterima oleh Allah, bukan sekedar penggugur kewajiban, adalah ibadah yang memberikan dampak positif pada pelakunya. Andai semisal kita kok sehabis ibadah tingkat ketakwaan kita biasa-biasa saja, atau malah kelakuan kita semakin porak poranda, maka kita harus tahu bahwa ibadah kita tidak berefek apa-apa. Mesti menata niat.
Kadang aku pribadi sendiri heran. Kenapa seseorang yang melakukan perampasan terhadap hak rakyat, makan dengan rakus uang mereka, saat terkuak kasusnya buru-buru balik berbuat baik? Dan itu mesti dengan jauh-jauh ke tanah suci?
Seharusnya sebelum terbongkar, saat masih ditutupi Allah, dan saat dia sadar perbuatannya itu salah, segera bergegas membenahi kesalahannya dan mengembalikan sesuatu yang bukan haknya. Dan tidak harus ke tanah suci, tapi taubatlah di tempat.
Lalu apa faedahnya dia jauh-jauh ke Mekkah, menemui orang-orang sholih meminta doa agar permasalahannya di-clear-kan setelah perbuatan buruknya, atau persekongkolannya terbongkar dan ditelanjangi di depan rakyat?
Hanya itu pikiran sederhanaku saat bersalaman dengan salah satu ketua partai besar yang terlihat linglung sebab banyaknya kasus yang menimpa dia, padahal pak ketua ini terkenal dengan kecerdasan dan kecemerlangan karirnya saat masih mahasiswa. Apa entah karena "keluguannya" di dunia politik sehingga dimanfaatkan oleh teman-temannya, atau memang karena kerakusannya.
Satu pelajaran juga, bukti bahwa latar belakang seseorang yang sangat berkesan religius tidak selalu menjamin bahwa dia akan baik, selama tidak ada perlindungan Allah di sana.
Sebab apapun keadaan kita, perhitungan adalah tetap pada bagaimana akhir kita nanti. Bukan pada kita ini siapa, dari keluarga apa, belajarnya apa, kontribusinya apa. Tapi pada akhir yang baik, husnul khotimah, atau sebaliknya, naudzu billah.
Akhir catatan, masih banyak yang harus kita renungkan bersama daripada membayangkan Kisah Nyata Masuk Rok Orang Afrika.
0 comments:
Post a Comment