Berikut ini adalah sebuah pengalaman menakjubkan yang di tuturkan oleh Haekal Siregar, saat menunaikan Ibadah Haji di tahun 2014.
Suatu hari, ketika subuh menjelang, saya bersama teman saya, Pak Anang, kebagian tugas menjaga seorang kakek bernama Daeng Manggati Adam, anggota rombongan saya. Kakek ini, saking tuanya, sudah sedikit pikun. Baru keluar hotel sedikit, sudah lupa arah pulang.
Bahkan saluran kemihnya pun sudah tidak terkontrol sehingga perlu dipakaikan popok agar tidak buang air kecil kemana-mana. Tambahan lagi, berhubung sang kakek selama hidupnya mungkin tinggal di daerah (Makassar), bahasa Indonesianya pun kurang jelas, sehingga kami yang tinggal sekamar selama sepuluh hari saja, sampai akhir tidak bisa begitu jelas mendengarkan ucapan sang kakek.
Nah, sampai di Masjid Nabawi, sekitar pukul 3 dini hari, ternyata masjid sudah luar biasa penuh. Ribuan orang sholat sunat, membaca quran, berdoa, dan sebagainya. Berhubung kami juga ‘wisatawan’, kami (saya dan Pak Anang) tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengantri berdoa di Raudhoh (tempat antara Makam Rasulullah dan mimbar beliau, tempat mustajab doa di Madinah).
Itu antriannya, sudah penuh! Mungkin mereka mulai mengantri dari jam 1 kali ya. Nah, sempat kepikiran untuk bergantian. Saya dulu mengantri, baru setelah itu giliran Pak Anang. Dengan begitu, sang kakek akan selalu dijaga oleh seseorang. Tapi dasar sama-sama wisatawan, kami gak ada yang mau mengalah. Jadilah kami berdua mengantri bersama di Raudhoh, setelah mewanti-wanti dengan tegas, agar si kakek tetap di tempat dan tidak kemana-mana.
Singkat kata, proses mengantri sampai balik lagi ke tempat semula, memakan waktu kira2 satu jam. Saya pun terpisah dengan Pak Anang saking penuhnya antrian. Lega dan bersyukur memperoleh kesempatan berdoa di Raudhoh, saya balik lagi ke tempat semula (tandanya adalah tiang, dan saya ingat betul tiangnya).
Ternyata, setelah balik ke tempat semula, sang kakek sudah tidak ada lagi di situ! Panik dong! Di tengah ribuan orang begitu, bagaimana pula caranya saya mencari seorang kakek!
Bahkan saluran kemihnya pun sudah tidak terkontrol sehingga perlu dipakaikan popok agar tidak buang air kecil kemana-mana. Tambahan lagi, berhubung sang kakek selama hidupnya mungkin tinggal di daerah (Makassar), bahasa Indonesianya pun kurang jelas, sehingga kami yang tinggal sekamar selama sepuluh hari saja, sampai akhir tidak bisa begitu jelas mendengarkan ucapan sang kakek.
Nah, sampai di Masjid Nabawi, sekitar pukul 3 dini hari, ternyata masjid sudah luar biasa penuh. Ribuan orang sholat sunat, membaca quran, berdoa, dan sebagainya. Berhubung kami juga ‘wisatawan’, kami (saya dan Pak Anang) tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengantri berdoa di Raudhoh (tempat antara Makam Rasulullah dan mimbar beliau, tempat mustajab doa di Madinah).
Itu antriannya, sudah penuh! Mungkin mereka mulai mengantri dari jam 1 kali ya. Nah, sempat kepikiran untuk bergantian. Saya dulu mengantri, baru setelah itu giliran Pak Anang. Dengan begitu, sang kakek akan selalu dijaga oleh seseorang. Tapi dasar sama-sama wisatawan, kami gak ada yang mau mengalah. Jadilah kami berdua mengantri bersama di Raudhoh, setelah mewanti-wanti dengan tegas, agar si kakek tetap di tempat dan tidak kemana-mana.
Singkat kata, proses mengantri sampai balik lagi ke tempat semula, memakan waktu kira2 satu jam. Saya pun terpisah dengan Pak Anang saking penuhnya antrian. Lega dan bersyukur memperoleh kesempatan berdoa di Raudhoh, saya balik lagi ke tempat semula (tandanya adalah tiang, dan saya ingat betul tiangnya).
Ternyata, setelah balik ke tempat semula, sang kakek sudah tidak ada lagi di situ! Panik dong! Di tengah ribuan orang begitu, bagaimana pula caranya saya mencari seorang kakek!
Baca JuItu tiang tempat saya tinggalkan sang kakek, sampai saya putari untuk mencari keberadaan sang kakek. Plus saya putari juga tiang-tiang sekitar situ. Sama sekali tidak ketemu! Total saya mencari sang kakek sekitar 2 jam, sampai jam 6. Diselingi oleh sholat subuh.
Masih positive thinking, saya balik ke hotel. Berharap sang kakek sudah dibawa oleh Pak Anang pulang. Ternyata, di hotel pun, sang kakek masih tidak ada! Celakanya, Pak Anang juga menyangka sang kakek bersama saya…
Atas saran pembimbing kami, Mbak Elly Lubis, kami menunggu saja kabar siapa tahu ada yang menghubungi nomer yang ada di kalung sang kakek. Sayangnya, nomer tersebut adalah nomer Indonesia, dan saya sendiri sih, mencoba beberapa kali menelepon nomer tersebut, namun tidak pernah tersambung.
Sampai dzuhur, tidak ada kabar apapun terkait keberadaan sang kakek. Waktu sholat dzuhur, saya dan Pak Anang akhirnya memutuskan untuk kembali lagi ke lemari tempat kami meletakkan sandal bersama sandal sang kakek. Di situ, saya sampai menunjukkan kepada Pak Anang, bahwa sandal sang kakek masih ada di situ. Artinya, sang kakek seharusnya tidak kemana-mana, atau paling tidak, dia kemana-mana tidak pakai sandal!
Selesai sholat dzuhur, kami mencoba untuk mencari lagi sang kakek sekitar 1 jam, tanpa hasil. Begitu juga waktu ashar. Akhirnya hari itu kami tour Kota Madinah dengan hati berat membayangkan sang kakek yang dari pagi buta belum makan.
Selesai tour paska ashar, sekitar pukul 16.30, saya kembali ke kamar. Untuk mendapati sang kakek sudah selimutan di tempat tidurnya!
Nah, di sinilah keanehan cerita sang kakek…
Ternyata, sang kakek dari sejak kami tinggal ke Raudhoh, beliau tidak bergerak kemana-mana! Padahal waktu mencarinya, saya sampai memutari tiang tersebut berkali-kali, namun tidak bisa saya lihat tuh sang kakek! Kemudian, keanehan kedua, ternyata waktu dzuhur, sang kakek akhirnya memutuskan untuk duduk di bawah lemari penitipan sandal! Tempat yang tepat kami datangi ketika melihat sandal si kakek masih di situ. Dan sekali lagi, kami tidak melihat sang kakek.
Nah keanehan ketiga yang paling dahsyat! Pernah sholat ied di Istiqlal? Nah, kondisi Masjid Nabawi serupa dengan kondisi penuhnya sholat ied di Istiqlal, hanya saja masjid ini penuh 5x sehari. Pada kondisi penuh seperti itu, sang kakek (yang sama sekali tidak terlihat bingung atau bertanya-tanya pada orang sekitar), dengan ratusan orang seumuran sng kakek di situ, sebesar apa kemungkinannya ada orang tiba2 bertanya pada sang kakek, di negeri yang berbahasa arab ini, dengan menngunakan bahasa Indonesia?
Jadi, pada saat ba’da ashar, sang kakek cerita, dia didatangi oleh seorang lelaki, dengan pakaian seperti anggota Jamaat Tabligh (versi sang kakek), dengan wajah arab, berjenggot tebal, tiba2 bertanya dengan bahasa Indonesia ke si kakek, “Sedang apa, pak?”
“Sedang menunggu teman saya,” jawab sang kakek.
“Mari ikut saya, pak,” ajak lelaki tersebut.
Dan ternyata, lelaki tersebut mengantarkan sang kakek, ke hotel tempat kami menginap, sampai ke kamar langsung! Di lantai 14! Tanpa bertanya ke sang kakek, dimana letak hotelnya, apalagi kamarnya! Dan seandainyapun bertanya, saya yakin sang kakek tidak bisa menunjukkan dengan jelas letak hotel tempat kami menginap, apalagi kamarnya! Subhanallaah, Allahu akbar!
Mbak Elly Lubis, pembimbing kami, yang tiap bulan ke Madinah-Mekah, sampai merinding ketika mendengar cerita sang kakek. Benar2 di luar akal kami untuk mencerna siapa sebenarnya lelaki yang mengantar sang kakek sampai ke kamar tersebut? Apakah malaikat? Entahlah…
0 comments:
Post a Comment